Kamis, 08 Maret 2012

Senyum Manis untuk Ayah


Malam sudah memasuki puncak larut ketika segelas teh diseduh oleh perempuan tua untuk ayah. Seorang perempuan tua yang umurnya baru saja genap enam puluh tahun. Rambutnya panjang dan tergerai indah, beberapa helai rambut putih menyuruk di balik rambut hitam legam itu seperti malu-malu untuk memperlihatkan dirinya.

Baju yang ia kenakan di tubuhnya sebuah terusan daster yang panjangnya hanya sedalam mata kaki. Wajahnya agak tirus dan terlihat tua melalui gurat-gurat keriput yang menjalar di sekitar wajahnya. Tapi, ia masih terlihat cantik, seolah memperjelas bahwa perempuan itu adalah perempuan yang indah di masa mudanya.

 Sesendok gula ia masukkan ke dalam gelas kristal yang berkilau ketika disinari cahaya. Dengan sendok yang panjang tangkainya tak begitu berbeda jauh dari bibir gelas, pelan-pelan ia mulai mengaduk kemudian mempercepat adukannya hingga gula-gula yang bernaung di dasar gelas menyatu dengan air panas yang disiramkan ke bubuk teh celup. 

Ia cekatan menyeduh teh, ia arahkan juga pandangannya ke arah ayah. Meski sesekali, barangkali memastikan apakah ayah masih larut dalam lagu diamnya. Perempuan itu menatap dengan sorotan mata yang teduh. Dingin. Mata perempuan itu silih berganti, kadang terarah ke ayah, kadang terarah ke gelas teh. Jauh dari dalam sorot pandangan perempuan itu, tersimpan bongkahan rasa iba pada lelaki itu.

 Sudah beberapa hari ini  ayah tak lagi tertawa, tanpa sebab dan alasan yang tidak bisa kumengerti. Wajahnya kusut, seperti pita kaset yang putus dan dibiarkan tidak tergulung. Rambut ayah terlihat agak awut-awutan, sungguh terpaut jauh ketika ia hendak ke kantor. Muka masam itu sering kudapati tengah merenung. Agak murung. Bahkan kadang menatap kosong tanpa apa tahu apa yang sedang bersarang di benaknya.

 Bahkan, sering ayah terlihat menatap jauh ke arah lukisan yang terpasang di ruang tamu. Tatapannya yang nanar tidak pantas dikatakan kalau ayah memang menatap jauh ke dalam diri seorang gadis dalam lukisan itu. Karena tatapan itu kosong. Tatapan yang nanar.

Kehidupan sehari-hari yang rutin dijalankan ayah di kantor lambat-lambat mulai terhenti. Ayah tidak lagi terlihat mengenakan jas hitam ketika menuju kantor. Hanya kaos oblong warna spot biru dan putih yang melekat di tubuhnya. Dan ayah sendiri, entah sadar atau tidak, baju yang melekat di tubuhnya itu sudah tiga hari tidak diganti.

 Ayah tidak begitu hirau dengan bau tubuhnya. Giginya mulai menguning, serta merta menunjukkan ayah tidak lagi pernah ke bath up untuk menggosok giginya sehabis merokok atau sehabis makan.

Bahkan, sudah saatnya dari dua hari yang lalu ayah semestinya datang ke tukang cukur langganannya untuk memotong kumis dan menipiskan rambutnya yang hitam dan beberapa helai rambut yang mulai ditumbuhi uban. Kebiasan ini selalu dilakukan ayah satu atau dua kali dalam sebulan.

 Sampai-sampai si tukang cukur bertanya, “Ada apa dengan Ayah, kenapa tidak kelihatan setelah cukuran sebulan yang lalu?” Dan si tukang cukur juga tidak mendapat kabar atas tidak datangnya lagi ayah ke tempatnya.

Ayah tidak lagi melakukan kebiasan-kebiasaan itu. Sungguh tidak pernah melakukannya. Sekarang ayah lebih senang berdiam diri di ruang tamu. Ruang tamu adalah tempat yang membuat ia benar-benar hanyut dalam kebisuan.

Perempuan itu menyodorkan gelas teh itu ke hadapan ayah. Ayah menyambut tatapan mata teduhnya yang dingin. Bagaikan sebuah perintah untuk membiarkan airmata yang bersarang di balik bola mata bening ayah meleleh di depan matanya.

Di luar sana pepohonan mulai kuyup. Hujan yang turun sejak tadi pagi menyapu tanah merah di halaman rumah. Begitu dingin hujan meleleh di sepanjang jalan. Dingin. Ngilu. Tik. Tik. Tik.

***

Aku hanya terdiam di depan ayah. Sudah kucari seribu satu macam cara agar ayah mau tersenyum. Tapi, kenapa untuk sekadar tersenyum saja, ayah begitu susah melakukannya. Kukeluarkan seluruh kekuatanku untuk bisa tertawa di hadapannya. Menceritakan kisah-kisah yang lucu semasa ayah menemukanku di sebuah komplek seni sewaktu ada pameran pekan budaya. Kuseret kenangan ayah ke masa itu.

 Aku memang kesepian kala itu. Aku kehilangan Ibu dan ayah sehingga aku tak tahu harus kemana. Aku telah ditinggalkan begitu saja oleh orang yang telah menghadirkanku di muka bumi ini. Untung ada ayah yang baik hati. Ayahlah yang telah menyelamatkanku dari kesepian itu.

Hari ini ayah masih seperti dua atau tiga hari yang lalu. Mata ayah entah memandang ke mana. Seperti ribuan semak belukar dengan akar-akar beringin yang mencuat tajam dan besar seperti raksasa. Pikiran ayah bagai lautan semak belukar yang menjalar-jalar. Seribu satu hal yang sedang dipikirkannya. Tak henti-henti ia melamun. Memangku dagunya dengan tangan sebelah kanan. Agak tertunduk di kursi ruang tamu, mata ayah entah menatap ke arah lantai dengan tatapan nanar.

“Ayah, aku ingin mengajak Ayah bicara empat mata!”

Ayah tidak merespon. Ayah tak bangun dari lamunannya dengan sahutanku.

Baru malam ini aku merasa rumah bagai istana megah seperti yang ada di dongeng-dongeng, tetapi penghuninya entah sedang ada dimana. Kesunyian yang melompong seperti raja yang paling berkuasa.

Belum pernah malam ayah sesepi ini. Sunyi merayap-rayap pada tubuhnya.Biasanya ia yang menceritakan cerita lucunya masa kecil yang amat menggelikan dan mengundang tawaku yang terbahak-bahak.

 Tapi, sekarang ketika giliran aku yang bercerita tentang masa kecilku, ayah tidak mau mendengarnya. Ayah hanya diam. Diam. Diam dan diam. Tak ada jawaban, sahutan bahkan sepotong kalimat yang meluncur dari mulutnya.

***

Dari dalam kamarnya, suara ayah terdengar keras hingga ke ruang tamu. Seperti biasa, pada kesibukan pagi yang barangkali sama dengan hari-hari biasa, beberapa potong roti selai terhidang dengan manis di atas meja makan. Aroma wangi teh melati sampai ke indera penciumanku. Dari pintu kamarnya aku lihat ayah tampak sibuk memasang dasi pada krah kemeja warna biru muda.

Sementara itu, anak-anak ayah bercanda di ruang keluarga. Suara nyaring televisi layar datar sempat singgah di telingaku, tapi aku benar-benar abai karena merasa perlu memperhatikan ayah pagi ini. Dari dalam cermin yang menghadap ke luar kamar, ayah kulihat sedang membaca koran pagi saat ini. Meski aku tahu ayah tersenyum ke arahku, kutundukkan wajahku lebih dalam sehingga ayah benar-benar tidak tahu kalau aku tersenyum paling manis untuknya di pagi ini.

“Anak-anak, udah sarapan?” suara ayah lepas menyahut anak-anaknya yang berisik di ruang keluarga.

“Tara, Haykal, ayo makan dulu, nanti keburu telat ke sekolahnya,” akhirnya sepotong kalimat suruhan itu keluar dari mulut ayah untuk kedua anaknya yang sedang asyik main di lantai atas. Biasanya, aku yang akan melontarkan kalimat itu agar anak-anak ayah yang lain segera gegas sarapan dan buru-buru ke sekolah.

 Sepintas aku hendak melirik ke dalam kamar ayah dan ingin sekali meneruskan langkah ke meja makan. Anak-anak ayah masih berisik mengobrak-abrik mainan yang sudah kutata rapi di ruang keluarga. Terdengar suara Haykal menirukan bunyi pistol ‘dor..dor..dor’, mengarahkan bunyi tembakan itu ke arah Tara yang buru-buru berlari ke lantai bawah. Ada juga suara nyaring bunyi bola yang melantun-lantun ke dinding hingga sampai ke dinding kamar mandi.

Sampai di meja makan, Mbok Dar sibuk menyiapkan bubur ayam dan roti selai nanas dengan aroma yang amat wangi. Mbok Dar tersenyum ke arahku ketika melihat aku melayangkan senyum  untuknya. Sebuah senyuman manis untuknya di pagi ini. Senyumku makin melebar. Membentuk lengkung bulan sabit di wajahku.

Aku masih ingat, pertama kali datang ke rumah sewaktu ayah membawaku pulang ke rumahnya, Mbok Dar yang waktu itu membukakan pintu. Aku malu-malu bersembunyi di balik pinggang ayah serta merta mengintip dengan melongokan kepalaku ke depan ke arah sisi kanan. Aku melihat-lihat keadaan rumah ayah. Aku tahu ternyata ayah adalah seorang pria yang kaya.

Sambil menutup wajahku dengan jas ayah, kudengar suara seseorang melangkah menuju pintu. Kemudian seorang perempuan tua, muncul dari dalam rumah. Dengan wajah heran, perempuan itu melihat ayah berdampingan dengan diriku di mulut pintu, membuat wajah heran perempuan itu semakin kentara.

Ada raut seperti bertanya “Siapa anak kecil yang manis ini, Tuan?”

Tapi wajah ayah yang letih sepulang bekerja dan mengunjungi pekan budaya, mengurungkan niat Mbok Dar --perempuan itu-- untuk melayangkan pertanyaan itu. Ayah membopong diriku yang hanya setinggi pinggangnya. Ayah membawaku masuk ke dalam rumahnya. Suhu yang dingin dari mesin pendingin ruangan rumah ini, membuat aku kedinginan. Belum pernah kurasakan berada di ruangan yang dingin ini seperti ini.

Dan semenjak saat itulah, aku semakin akrab dengan keluarga ayah. Dengan anak-anak ayah, dengan Mbok Dar, bahkan juga dengan istri ayah yang pulang sekali sebulan karena harus ke luar negeri menjalankan kerja kantornya. Kehadiranku di rumah ayah, telah membawa kebahagian.

Pernah suatu hari, ayah berkata dengan suara yang pelan.

“Ayah, mohon, hadirkanlah senyum termanis setiap hari untuk ayah. Agar ayah bisa menjalani hari-hari dengan penuh semangat,”

“Iya, ayah. Aku akan janji padamu menghadirkan senyum termanis di rumah ini…” ucapku dalam hati.

***

Malam ini, dari ruang keluarga televisi layar datar menyala dengan volume dua puluh satu. Tidak nyaring karena rumah cukup bising. Seperti biasa, anak-anak ayah dari lantai dua, dengan suara yang memekakkan telinga silih berganti menghadirkan suara berisik hingga ke ruang tamu.

Aku ingin duduk satu sofa dengan ayah. Aku melihat; entah benar atau tidak, ayah menyimpan kegelisahan. Ia duduk tak tenang. Sesekali mengangkat kaki dan agak gemetar menatap ke arahku. Ingin kutanyakan ada apa ayah? Tapi mulutku terkunci. Kali ini kutemukan diriku begitu susah merangkai kalimat tanya untuk menanyakan keadaan ayah saat ini. Bagai ada sebuah sekat yang menghalangiku untuk mengucapkan pertanyaan ini.

Tapi, ketika sebuah kalimat sudah kudapat, aku semakin tak berani. Aku pikir masalah yang kemarin dengan istrinya, tentang hak asuh anak. Ah, tak mungkin. Setahuku urusan perceraian ayah dengan istrinya sudah selesai, dan mulai bulan ini istrinya tidak akan kembali ke rumah ini. Sedang hak asuh anak, untuk sementara waktu memang di tangan ayah.

Ternyata tidak. Bukan masalah itu rupanya yang membuat ayah gelisah malam ini. Tepat ketika jam dinding menunjukkan pukul delapan malam, seorang lelaki datang ke rumah dengan mobil mewah warna hitam mengkilat. Ayah seolah menyuruhku masuk kamar. Tapi, aku tidak mau, aku ingin menemani ayah berbicara dengan lelaki itu.

Karena aku tahu ini hal penting, aku bersedia masuk kamar. Dengan langkah kaki agak berat, aku melangkah menuju kamar. Sempat kulihat lelaki itu tersenyum ke arahku, bahkan mencoba mengalahkan senyum termanisku.

Lalu, dimulailah obrolan antara ayah dan lelaki itu. Mbok Dar selepas mengantarkan dua gelas teh panas, langsung menuju dapur karena tahu pembicaraan antara dua lelaki itu amat penting. Ketika melewati kamarku, aku ingin sekali memanggil Mbok Dar untuk menanyakan padanya siapa lelaki itu. Belum sempat aku bertanya, Mbok Dar seolah membisikkan ke telingaku kalau lelaki itu adalah pemilik perusahaan tempat ayah bekerja.

Dari dalam kamar kubuka pintu sekitar sepuluh sentimeter, sempat kudengar beberapa kalimat pembicaraan yang menjadi jawaban kenapa ayah gelisah sejak tadi. Kini, betapa aku merasa sangat ingin menghambur ke ranjang. Membiarkan airmataku terus meleleh. Mataku terus berkaca-kaca, tak henti-henti.

***

Sejak kedatangan lelaki kemarin malam itu, ayah semakin kelihatan murung. Dihidangkan sepiring goreng pisang oleh Mbok Dar, tak disentuhnya sedikit pun oleh ayah. Dibelikannya martabak mesir juga tak dilirik ayah. Apalagi ketika segelas cokelat panas kesukaannya, dibuatkan oleh Mbok Dar, semakin ayah benar-benar tak berselera menikmatinya.

Entah sudah berapa hari ayah tak masuk kantor. Aktivitas ayah selain di kamar, berbaring sambil memikirkan sesuatu. Kadang ia menuju ruang tamu, memastikan aku baik-baik saja, tersenyum ke arahnya. Tetap memberikan senyum paling manis, meski terasa amat pahit.

Hari ini, aku berencana untuk masuk ke kamar ayah. Dengan piyama warna biru tua, ayah tampak terbungkus dengan tubuh yang kurus. Wajahnya tampak kusut dan tidak sesegar aroma kamarnya. Laptonya menyala, tapi dibiarkannya saja sendiri. Televisi dalam kamarnya juga, ia benar-benar tidak berselera menonton.

“Ayah, aku sudah tahu maksud pembicaraan Om Krisna malam itu. Aku tahu Om Krisna akan membeli aku dari ayah. Dan ayah sendiri apa rela menjualku pada Om Krisna?” ucapku sambil tersenyum pada ayah. Kuutarakan pertanyaan itu dengan tenang tanpa gemetar sedikitpun. Tak sabar kutunggu jawaban dari mulut ayah. Aku seperti bermimpi dan berkhayal ingin menanyakan hal itu padanya.

Ayah menatapku tajam. Dengan mata berkaca-kaca. Lalu seperti ingin memelukku.

Aku sudah menebak jawaban ayah. Beberapa tetes airmata meluncur ngilu dari ruang matanya. Aku seperti berada pada pusar kesedihan yang amat membuatku  ingin menangis. Tapi, tak bisa. Aku harus tetap tersenyum untuk ayah. Aku ingat kata dari bapak dan ibuku yang mengatakan bahwa aku harus selalu tersenyum untuk semua orang yang kucintai, sekalipun pahit.

“Ayah tak mau kehilangan kamu, Dinda. Sungguh, ayah benar-benar kehilangan semangat hidup kalau sehari saja tidak melihat kamu tersenyum,” ucapnya dengan nada suara bergetar.

Ayah, aku ingin menghabiskan detik-detik kesedihan ini sebelum aku benar-benar pergi darimu dan tinggal bersama di rumah Om Krisna. Maafkan aku tak menghadirkan kebahagian yang utuh untukmu. O, ayah kau pun tahu, aku hanyalah sebuah lukisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar