Kamis, 08 Maret 2012

Jembatan pelangi


Anak lelaki itu sepertinya belumgenap berumur enam tahun. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjangkotak-kotak merah dengan logo taman kanak-kanak di dada kiri. Di sandangnya taspunggung warna merah menyala dengan botol minuman terselip di saku tas sebelahkiri. Ia kelihatan manis dan menggemaskan.

Aku tersenyum melihatnya agakkerepotan duduk di angkot yang memang tinggal menyisakan dua tempat duduk.Sejurus kemudian, anak itu memperlihatkan hasil karya origaminya, pada wanitayang mungkin saja ibunya. Seekor singa yang sedikit robek ujungnya karenaterlalu lama digenggam erat anak tersebut. Origami yang cukup sempurna menurutku. Ia juga segera menyanyikan lagu baru yang mungkin saja diajarkangurunya hari itu.

Satu satu aku sayang Allah// Dua duasayang Rasulullah// Tiga tiga sayang ayah bunda// Satu dua tiga sayang semuanya

Aku kembali tersenyum geli mendengarsuaranya yang serak tapi tetap semangat. Anak itu menoleh padaku dan membalassenyumku. Ia kemudian kembali asyik bercerita pada ibunya. Mulutnya sesekalimenggigit somay yang mungkin dibelikan ibunya tadi di sekolah. Ibunya sesekalimenyahut lirih atau sekedar mengangguk lelah. Tangannya sendiri sibuk mengipaswajahnya yang berkeringat dengan kertas gambar hasil karya anaknya. Tak adasedikit rasa peduli mendengar cerita seru dari anaknya tersebut.

Aku mafhum. Cuaca panas yang takbersahabat dan macetnya Jakarta membuat udara berpolusi. Kulihat ada beberapakantong plastik hitam berserakan di kakinya. Pasti pagi tadi ia belanja duluuntuk kebutuhan dapurnya sebelum menjemput sang anak. Pantas saja ia takterlalu memperhatikan celoteh riang anaknya dan terlihat mengantuk. Ia seakanmenganggap cerita seru anaknya itu adalah rutinitas sehari-hari yang memang sudahsangat biasa didengarnya.

Pengapnya udara siang ini tidakmengalihkan perhatianku dari anak berpipi gembil menggemaskan itu. Kunikmatinada dan lantunan riang lagu yang dihapalnya seperti puluhan tahun belum pernahmendengarkan alunan sumbang tapi menyenangkan di telingaku. Betapa aku merindusemua gambaran di depanku ini nyata terjadi dalam kehidupan keluargaku. Ah, akutak mau membandingkan anakku dengan bocah menggemaskan di angkot itu. Tapisejenak, bayangan Fatih melintas di ingatan dan merusak suasana indah yangkubangun barusan.

Setiap waktu memeriksakan diriselama mengandung Fatih, bidan mengatakan kalau kandunganku sehat dan bayikusehat. Karena itulah, sama sekali tak ada kesiapan lahir batin bagiku dan suamimenyadari penjelasan Dokter. Fatih lahir dengan Down Syndrome.

Menyakitkan. Aku tak sanggupmembendung luapan sesak di dada. Dokter telah memberitahukan masa depan Fatihsepersekian menit setelah ia lahir ke dunia. Fatih tidak akan bisa tumbuhseperti anak normal lainnya. Dan Fatih tidak akan bisa menjadi dewasa dan mampumengurus dirinya sendiri nanti.

Shock yang aku alami setelahmelahirkan semakin berat kurasakan, mengetahui bahwa dokter menemukan kelainanpada jantung Fatih yang harus diperbaiki dengan pembedahan. Masalah lainnya,ada gangguan mata dan tonsil padajasmaninya. Beberapa masalah itu cukup membuat kesehatanku tak segera membaik,dan berimbas memperpanjang masa inapku di rumah sakit.

Ah, tak sanggup rasanya hati inimenatap bayi mungil yang kini terbaring lelap di sampingku. Begitu berat cobaanyang diberikan Tuhan saat ia mulai membuka mata untuk dunia baru yang dihuninyakini. Apakah anakku akan kuat melalui semua ini?

Allah, maafkan aku karena shock yangkuderita membuatku tak bisa menyusui Fatih. Bahkan, ketika dokter mengenalkankudengan seorang pakar penanganan anak DownSyndrome, aku masih dilanda kengerian hebat. Aku takut membayangkan masadepan anakku, meski wanita itu sudah memberikan masukan cara merawat anakseperti Fatih, buku-buku dan brosur tentang penanganan anak Down Syndrome.

Tetapi, semua buku yang kubacajustru semakin membuatku tertekan. Dulu, sejak dokter menyatakan bahwa akupositiif  hamil, aku selalu berdoa danbermimpi tentang seorang anak yang lincah dan pintar. Anak yang akan kubimbingmengenal Allah dan Rasul-Nya. Anak yang akan kuajari mengaji dan shalat, agaria bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa ke tempatsaudara-saudaraku dan membanggakannya sebagai anak yang akan menjadi generasiRabbani. Membawanya tafakur alam ke tempat-tempat yang indah agar pandaibersyukur, mempunyai sifat tawadhu, santun dan menghormati orang tuanya.

Aku akan memperkenalkannya padasaudara-saudaranya yang yatim dan papa, agar hatinya lembut dan peka. Yang akanmencintai buku-buku seperti aku dan ayahnya. Anak yang akan menjadi seorangpejuang di jalan Allah, demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglimagagah berani itu, Muhammad al-Fatih.

Sering kuubayangkan jari mungilanakku menyusuri huruf-huruf dalam lembaran mushaf al-Qur’an. Anakku, apapunjenis kelaminnya nanti, yang akan membawa rahmat dalam keluarga ini. Anak yangakan selalu membuat suasana rumah ramai dengan tawa canda riang selepasmengaji, dan setia menelusuri bait-bait keagungan-Nya dalam ayat suci. Rasanya,bahkan aku bisa mendengar suranya yang bening melantunkan ayat-ayat cinta itu.Suara terindah yang pernah kudengar.

Lalu, ke manakah bisa kukubur kecewaini saat mendapati Fatih tidak mungkin mewujudkan semua impianku? Aku hanyabisa berdoa siang malam memohon kekuatan. Aku muhasabah diri ini, mengingatkembali apa yang telah kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikanFatih.

Sampai suatu hari satu kalimatseakan menikam tepat ke ulu hatiku. Anakku adalah amanat, bukan hukuman,apalagi aib. Ia hanya titipan saja, bukan milikku. Apakah aku berhak menggugatjika titipan-Nya ternyata lebih istimewa dibandingkan dengan anak-anak lainnya?Aku hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya dengan cinta, karena ia titipanAllah yang lebih mengetahui batas kemampuan hamba-Nya. Bukan tugasku menilaiapakah Fatih layak menjadi anakku atau tidak. Setelah itu, aku kembalimenemukan kebahagiaan. Rasa  yang sekianlama timbul tenggelam, karena egoku sebagai seorang ibu yang ingin anaknyasempurna.

Tapi, tak urung kesedihan itumenyapa, dan menyakitkanku. Tiap kali kubawa Fatih ke dokter dan melihat ibulain dengan bayi seumur Fatih, kembali aku terbenam dalam kepiluan. Entah untukFatih atau untuk diriku sendiri. Jasmani yang menafikan diri bahwa Fatih adalahtitipan bernilai emas bagiku. Yang harus kujaga seperti aku menjaga sebuah kacayang mudah pecah. Kaca yang disisipkan nilai ikhlas untukku di dalamnya. Ikhlasmenerima keputusan Allah mengembankan tugas mulia menjaga Fatih sesuaikemampuanku sebagai wanita.

Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayilain mulai tertawa dan mengeluarkan suara-suara lucu, Fatih masih saja berguraudengan diam. Ia selalu memandang kosong ke depan, setiap aku dan suamiku harusbergantian merangsang otaknya dengan mainan warna-warna dan kerincingan yangribut. Fatih baru menunjukkan reaksi di bulan keenam setelah kelahirannya.

Aku bahagia Fatih mulai tumbuh. Iamulai belajar berjalan di usia dua tahun. Bicaranya  tak akan pernah bisa selancar anak-anak laindengan kosa katanya yang sangat terbatas. Ia tak bisa mandi dan berpakaiansendiri hingga usianya hampir sembilan tahun. Bahkan, ia harus disuapi setiapwaktu makan tiba sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan terakhir ini.

Hal yang paling menjengkelkanbagiku, Fatih itu sangat sulit sekali membiasakan diri buang air di kamarmandi, meskipun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama delapan tahun darisepuluh tahun usianya. Bahkan, mengajari Fatih shalat dan mengaji hampirmenjadi sesuatu yang tidak mungkin. Dadaku semakin perih, mengingat Fatih hanyabisa mengikuti gerakan-gerakan shalat kami tanpa bisa menghafal bacaannya.

Setelah beberapa lama, kamimenyadari kesalahan dan mulai mengajarinya dari awal. Mengakrabkan Fatih denganAllah dan Islam. Sesuatu yang lebih mudah dilakukan dan dipahami Fatih.

“Di belakang rumah ada pohonmangga.” Suara lantang bocah berseragam TK di angkot itu mengembalikanperhatianku pada polahnya yang lucu. Tapi, kali itu aku tiak bisa menikmatinyatanpa merasa iri. Iri pada ibu yang tidak menyadari betapa besar nikmat Allahyang dimilikinya. Nikmat mendapatkan anak yang sempurna tanpa cela, dan pastibisa berbaur dengan teman-teman lainnya, tanpa memikirkan harus bicara apa danmelakukan apa. Ada kegeraman dan rasa kasihan pada diri sendiri yang tiba-tibabergolak dan menenggelamkanku. Membuat dadaku sesak, dan leherku tercekik. Akutak tahu apakah harus menyesal, atau gembira saat anak itu akhirnya turun dariangkot bersama sang ibu.

Di bangku yamg mereka tinggalkan,aku memungut origami singa yang tertinggal begitu saja dan memperbaikinya.Tiba-iba mataku kabur oleh air mata. Fatih, ia tak bisa melukis dengan krayonatau membuat origami. Membuat gambar adiknya saja tak sanggup karena tangannyamemang lemah.

Dalam kepalan tanganku yang gemetar,singa-singaan itu kuremas menjadi gumpalan kertas. Aku tak sanggup menahanisak, mengiringi titik embun yang keluar dari mata. Dengan suara tercekatkusuruh sopir berhenti. Kuberikan ongkos dan segera turun, walau kutahu,rumahku masih beberapa kilometer jauhnya dari tempat ini.

Kusandarkan tubuh di halte yangsepi. Kutarik nafas sedalam yang aku bisa, dan menghembuskannya secaraberirama. Menyapu titik-titik air mata yang meleleh begitu saja dari mata ini.Saat pandanganku menatap kosong ke depan, samar mataku tertambat pada bangunansederhana di seberang jalan. Sebuah masjid. Allah, inikah teguran-Mu? Gegas akumenyeberang, dan menyirami anggota tubuh dengan air wudhu. Sejuk semakin terasamerambat di hati setelah aku shalat dua rakaat. Air mataku kembali takterbendung saat kubaca ayat kedua belas dari surat Lukman, Anisykurlillahi. Penggalan ayat yang membuat hatiku bergetarkarenanya. Ayat yang berarti ‘bersyukurlah kepada Allah’.

Usai shalat aku tercenung. Kekalutanyang sempat menguasai sudah berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi adadamai di sana. Kemudian, seperti sebuah film, plot demi plot kehidupan Fatihmulai kembali ke dalam benakku. Bukan gambaran muram segala kekurangannya itu,tetapi lebih pada keistimewaan-keistimeawaan kecil yang dianugerahkan danmelengkapi hidupnya, dan itu sedikit menepikan perih di hatiku.

Fatih suka musik klasik. Kenikmatanyang terlukis di wajahnya saat mendengarkan musik adalah keindahan tersendiribagiku. Ia juga tidak pernah nakal dan usil, selalu di rumah dan murah senyum.Ia jarang ngambek. Kalau dimarahi, biasanya ia akan cepat kembali ceria.

Fatih, ia anakku yang sangatmencintai saudara perempuannya, Aisyah. Adik yang lahir empat tahun setelahkehadiran Fatih mewarnai hidup ini. Kami sempat khawatir Fatih akan cemburudengan kehadiran adiknya, tapi ternyata ia justru sangat antusias membantukumengurus Aisyah. Sering aku dapati Fatih manatap adiknya yang tertidur denganekspresi terpesona yang tak terlukiskan. Hal yang sering membuat ayahnya jugamenitikkan air mata haru.

Aisyah normal dan cerdas, tapi iamenerima kakaknya tanpa syarat. Kemesraan mereka selalu menerbitkan syukur dihatiku dan ayah mereka. Mengurus Fatih memang menuntut kesabaran dan kegigihanekstra dibandingkan mengasuh anak biasa, dan Fatih memang bukan bukan anakbiasa.

Dialah yang mengajarkan kepada kamimakna mencintai tanpa batas. Cinta yang hakiki. Di zaman saat orang memburusegala yang superlatif, terpandai, tergesit, dan lainnya yang membuat anakkutidak akan bisa bersaing. Ia tidak mungkin menjadi ilmuwan, dokter, atau ustadseribu umat.

Tetapi, apakah itu akan mengurangicinta kami untuknya? Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnyayang dianggap remeh dan sepele orang lain, seperti makan dan berpakaiansendiri? Aku dan ayahnya tak akan memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besarFatih akan terus tergantung pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi,mungkin pada Aisyah. Kami memang tak pernah mengaharap apa-apa darinya. Kamihanya mencintainya, itu saja.

Pintu gerbang kudorong dan segerakuucap salam. Terdengar sahutan riang menyambut kepulanganku. Aisyah langsungmenghambur ke pelukanku, sementara kakaknya tersenyum lebar dengan langkah kakisedikit goyah di belakangnya.

“Umi, bawa oleh-oleh ya? Bawa apa?”Aisyah mengguncang tubuhku dan memekik riang saat kukeluarkan oleh-oleh darikeranjang belanjaku. Fatih tersenyum. Mata yang tadinya kosong, kini berbinar.Pepaya adalah buah kesukaannya.

Aku segera masuk kamar dan bergantipakaian setelah berpesan pada mbok Minah, khadimatku untuk mencuci dan mengupaskanpepaya buat anak-anak. Namun, saat keluar, mereka tak kutemukan di meja makan.

“Ayo, Unang! Makan itu. Yang disebelah situ. Tuh, keduluan deh sama Miu,” teriak Aisyah. Suara-suara darihalaman belakang membuatku beranjak melihat mereka. Di depan kandang burungkutilang, Asiyah melonjak-lonjak dan tertawa melihat kakaknya dengan sabarmenyodorkan potongan kecil pepaya lewat jeruju bambu.

Burung kutilang dalam kandangberebut menyambar potongan pepaya dari tangan Fatih. Dadaku sesak. Ada haru danbahagia tak tergambar di senyum terindahku yang mungkin terabaikan oleh keduaanakku saat ini. Sudah lama aku mengamati keistimewaan Fatih yang mencintaidengan ikhlas burung-burung kesayangan suamiku, pada ikan mas dan kelinci putihyang kami pelihara untuk mengajarkan mereka rasa tanggung jawab. Bahkan, padabunga-bungaku di beranda rumah, ia gembira mengurus semua itu, meskipun takpernah mendapat imbalan apapun. Kelembutannya terulur bahkan pada kucing-kucingliar yang sering diberinya makan, atau anak-anak tetangga yang sering main danmendapat bagian dari jatah kue atau buahnya tanpa meminta balasan dari merekadalam bentuk apapun.

Aku memang tak punya alasan untukkecewa dan bersedih.  Fatih mungkin takbisa membaca dan mengaji, tapi perasaanya halus dan penuh kasih sayang. Dan akusangat bersyukur atas kelebihan yang ada padanya itu. Adakah yang bisa kugugatpada-Nya atas tugas mulia yang diembankan padaku kini? Bukankah Fatih adalahjembatan pelangi terindah yang selalu menghubungkan keluarga ini untuk selalumengingat kebesaran Allah. Ya, tidak ada alasan lagi untuku menyelimuti hatidengan duka. Karena lewat Fatihlah, hidup kami menjadi indah dan berwarna,seperti pelangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar