Kamis, 08 Maret 2012

De Javu

“Pagi Cha, udah ngerjain PR matematika? Nyontek dong, susah nih” cerocos Ika pagi ini. Echa hanya tersenyum menatap temannya satu ini. Tak pernah ketinggalan nyontek untuk pelajaran matematika.

“Lha emangnya mana yang gag ngerti?” Tanya Echa sambil mengamati Ika menyalin pekerjaannya.

“Semua” jawabnya pendek.

“Semua? La kamu ngapain aja pelajaran Pak Hardi?” Tanya Echa melotot. Kalau satu dua materi sih masih mending, ini semua gag ngertyi. Haduh, parah juga ni anak. pikir Echa.

“Habis orangnya bosenin sih kalo nerangin, jadinya gag ada yang mudeng aku” jawabnya santai.

Echa semakin geleng-geleng kepala melihat sikap  temannya satu ini. Bel masuk berbunyi, tak lama kemudian Pak Hardi masuk, seperti biasa selalu tepat waktu dan rapi.

“Selamat Pagi anak-anak” Pak Hardi mulai membuka pelajaran.

“Pagi Pak” jawab murid-murid serempak.

“Pagi ini, Bapak punya sesuatu yang berbeda untuk kalian”

“Apa itu pak?”

“Silahkan masuk” kata Pak Hardi, Seorang pemuda dengan wajah tampan, rambut cepak, dan berkulit putih masuk. Semua terdiam memandangnya.

“Anak-anak, kenalkan ini adalah Beni. Mahasiswa semester 4, Universitas X. Dia ada disini dalam rangka menyelesaikan penelitian untuk tugas akhir semesternya. Jadi, dia akan ikut bapak setiap kali masuk kelas ini”

Beni tersenyum, murid-murid cewek semakin terpesona padanya. “Perkenalkan nama saya Beni. Seperti yang di sebutkan Pak Hardi, saya disini untuk penelitian tugas akhir saya. Jadi mohon bantuannya. Terimakasih”

Tepat sesuai dugaan, Beni langsung terkenal dalam satu hari. Apalagi gosip yang beredar, Beni masih jomblo. Tentunya saja banyak yang berpikir ini kesempatan untuk menarik perhatiannya. Siapa tahu, Beni tertarik dan bias jadi pacarnya.

Meski begitu lain cerita dengan Echa, entah kenapa dia tak tertarik sedikitpun padanya. Hanya saja dia seperti pernah bertemu Beni, tapi entah di mana. Dan kejadian perkenalan tadi terasa de javu yang begitu kuat baginya.

**

Sudah dua minggu, Beni berada di sekolah Echa. Dan sekarang semua orang semakin menggilaianya, mungkin hanya Echa yang tak acuh dengannya.

Bahkan Sisil, cewek paling cantik di sekolahpun sampai rela masuk klub matematika demi dekat dengan Beni. Echa sebenarnya tak masalah, hanya saja ulah Sisil yang manja itu cukup menganggu dia dan teman-teman klub lainnya.

Tapi semua tahu, Beni tak satupun melirik cewek-cewek itu. Entah mengapa, tak tertarik atau memang ada alasan lain.

Sore ini, hujan turun cukup lebat. Echa segera mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Sekolah sudah sepi, maklum saja dia harus lembur menyelesaikan tugas dari Pak Hardi. Hanya dia dan beberapa teman lainnya yang tersisa.

Tapi, kebanyakan dari mereka di jemput orang tuanya. Kakak Echa, yang biasa menjemputnya kuliah sampai malam. Jadi, dia terpaksa pulang sendiri naik taksi.

Tapi niatnya untuk pulang itu di urungkannya, karena hujan di luar semakin menjadi-jadi. Dia duduk di lobi sekolah dan menatap kearah lapangan, hari ini sepertinya bukan hari keberuntungannya. Hujan bukannya tambah reda, tapi malah bertambah lebat.

Handphonenya berbunyi. Kakaknya telfon untuk memastikan dia sudah pulang atau belum. Echa menghela nafas, entah samapai jam berapa dia harus berada di sini. Setelah menunggu cukup lama, hujan agak reda. Echa segera beranjak keluar dan mengeluarkan payungnya. Dari belakang terdengar suara langkah kaki.

Ternyata itu adalah Beni, sepertinya dia juga akan pulang. Echa merasa tak enak jika tak menyapa, apalagi m,ereka sering bertemu di klub matematika. Echapun menyapanya, dan mengantarkan Beni ke tempat parkir.

Saat Echa melangkah pergi, Beni menahannya dan menawarkan diri mengantarkan pulang. Dia berpikir sejenak, apa salahnya pulang dengan dia. Apalagi sekarang sudah terlalu sore. Lagipula tak ada yang tahu.

Echa mengangguk setuju, selama perjalanan tak ada pembicaraan di antara keduanya. De Javu itu muncul lagi, dan di malah merasa mengenal Beni. Tapi dia mencoba menepiskan bayangan itu jauh-jauh. Tak mungkin dia pernah mengenal Beni.

**

Beberapa hari setelah kejadian itu, entah mengapa ada saja yang mengusilinya. Dia dan Ika sampai-sampai heran, siapa yang melakukan semua ini. Dari tugasnya yang robek, buku catatan yang hilang, bahkan sampai baju olahraganyapun pernah menghilang begitu saja dari tasnya.

Untungnya Ika meminjamkan olahraga milik temannya di kelas lain.  Usai pelajaran olahraga, baju itu kembali dengan kondisi penuh coretan dan sobek-sobek. Guru BKpun sampai kewalahan menghadapi masalah Echa ini.

Saat istrihat, dia dan Ika berada di taman sekolah sambil menyatap bakwan goring ibu kantin. Tiba-tiba Sisil dan gengnya menghampirinya. Dia melabrak Echa, gara-gara Beni pernah mengantarkannya pulang.

Pantas saja, banyak ulah-ulah usil yang menimpanya beberapa hari terakhir ini, rupanya Sisillah penyebabnya. Dia cemburu melihatnya pulang bersama Beni. Sisil menghinanya habis-habisan. Dia hanya diam jadi tontonan anak sdatu sekolah dan bulanan-bulanan Sisil.

Sisil memintanya menjauhi Beni, bahkan keluar dari klub matematika. Echa masih tetap diam, dan mendengarkan Sisil. Bahkan Sisil mengancam dia tidak akan bias tenang jika tidak menjauhi  Beni.

Usai itu, Sisil menyiramkan air ke mukanya dan meninggalkannya. Echa hanya menghela nafas dan mengelap mukanya dengan tisu.

Tak cukup itu,  bahkan di kelas, bangku Echa berantakan dan barang-barangnya bertebaran di mana-mana. Di papan tulis, foto Echa jadi sasaran dan ada tulisan jauhi Beni. Dia di bantu Ika dan teman-teman lainnya membersihkan barang-barangnya.

Sisil adalah anak pemilik yayasan. Wajar saja tak ada yang berani dengannya, bahkan guru-guru sekalipun. Pulangnya Echa tetap pergi klub matematikanya, dan dia juga semakin menjadi pendiam.

Tanpa dia ketahui, Beni menghampiri Sisil dan mengatakan dia sudah memilki tunangan. Hanya saja dia sedang pergi ke Jepang, bahkan Beni memberi undangan pertunangannya.

Esoknya, satu sekolah heboh dengan kejadian kemarin. Beni ternyata sudah punya tunangan, dan sekarang sedang ada di Jepang. Tentu saja banyak orang yang kecewa mendengarnya, apalagi Sisil. Dia sangat terpukul dengan kejadian itu.

Usai kejadian itu, Sisil tidak lagi mengerjai Echa. Karena dia patah hati, Beni sudah memiliki tunangan.

**

Di rumah saat membenahi kamarnya, Echa melihat ada seuah surat yang terselip dari balik lemarinya. Tertulis “Untuk Stefania”. Stefania adalah panggilan masa kecilnya, tapi dari siapa?

Di dalamnya ada sebuah foto, seorang cowok dan mirip sekali dengan Beni. Mungkinkah ini Beni? Tapi sepertinya bukan. Belum sempat di baca, tiba-tiba kakaknya sudah mengambil surat itu dari tangannya.

Katanya, itu surat temannya. Dia naksir teman sekelasnya yang bernama Stefania. Echa magut-magut saja mendengar hal itu.  Kemudian dia menyeletuk

“Temen kakak itu mirip banget sama mahasiswa di sekolahku, namanya Beni”

“Beni??” tanyanya dengan terkejut. Setelah itu dia pergi meninggalkan Echa yang melonggo kebingungan melihatnya.

Setelah itu, dia bersiap-siap pergi ke toko buku. Hari ni dia ada janji dengan Ika untuk membel buku baru sekaligus buku tugas.

Saat melintasi sebuah Kafe dia melihat kakaknya sedang duduk, bersama seseorang. Beni? Tanyanya dalam hati. Ngapain dia dengan kakak? Mereka tidak satu kampus dan Echa tak pernah bertemu dengannya seandainya dia teman Kakaknya.

Saking fokusnya, Ech tak melihat sebuah sepeda motor melaju kearahnya. Dia kaget, dan terjatuh ke trotoar. Beni dan Ruben, kakak Echa segera keluar melihat apa yang terjadi. Betapa terkejutnya mereka melihat Echa tertabrak sepeda.

Kejadian ini sama seperti 3 tahun yang lalu, saat Echa masih kelas 3 SMP. Saat itu, dia pulang dari rumah Ika. Hpnya bergetar, dan saat dia mengambilnya Hp itu jatuh. Saking fokusnya, dia tak melihat mobil yang melaju cepat dan menabraknya.

Dia terluka parah, dan kehilangan banyak darah. Dia selamat, setelah melalui kondisi kritisnya. Tapi dia mengalami amnesia atau hilang ingatan. Saat itu hpnya bordering untuk memberitahu bahwa Beni, pacarnya meninggal dalam kecelakaan pesawat.

Itulah sebabnya mereka tak memberitahu Echa apapun tentang Beni. Tapi ternyata Beni selamat dan kembali mencari Echa. Tapi dia tidak ada. Beni mencoba menghubungi Ruben tapi tetap tak bisa.

Hingga suatu hari, saat akan melaksanakan tugas akhir semesternya Beni melihat nama Echa di salah satu sekolah. Beni datang ke sekolah itu dan berharap bisa bertemu dengan Echa. Tapi ternyata Echa tak mengenalnya.

Bahkan, Beni sampai rela menunggu untuk bisa mengantarkan Echa pulang. Selama perjalanan Echa tetap biasa saja seperti tak mengenal Beni. Beni kecewa, meski begitu setiap pagi dia selalu berdiri melihat rumah Echa, dan berharap dia bisa kembali seperti dulu.

Hingga, Ruben datang menemuinya tadi. Barulah Beni mengerti mengapa Echa tak lagi mengenalinya. Mereka bermaksud memulihkan ingatan Echa, tapi saying tiba-tiba kecelakaan ini terjadi.

Mereka mondar-mandir, menunggu dokter untuk memastikan keadaan Echa. Tak berapa lama dokterpu keluar, katanya Echa taka pa-apa. Hanya kaget dan pingsan. Dia bahkan boleh pulang sekarang.

Setelah di pindahkan ke ruang perawatan Beni duduk di samping tempat tidurnya. Sementara Ruben masih sibuk mengurusi administrasi. Echa sadar dan mulai membuka matanya.

“Beni..” ucapnya lirih.

“Stef, kamu inget aku?” tanya Beni tak percaya.

“Tentu, kamu kemana? Aku nyariin kamu” lanjutnya.

“Aku gak kemana-mana. Aku di sini. Di samping kamu, selalu” jawab Beni kemudian memeluk Echa, dan tersenyum bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar